Selasa, 24 Agustus 2010

Ramadan di Pesantren Waria


Pukul lima sore itu, sejumlah waria mendatangi sebuah rumah. Bercat kuning, berhias dinding keramik warna gelap, plang bertuliskan Pondok Pesantren Khusus Waria: Senin-Kamis menggantung di samping pintu utama.

Tepat di belakang mulut gang Kampung Notoyudan, Gedong Tengen, Yogyakarta, pesantren itu berdiri. Tak seperti pondok pesantren umumnya yang lengkap dengan masjid, aula maupun kamar. Ini hanya rumah kontrakan biasa. Bahkan, ruang depan rumah difungsikan sebagai salon.

Di belakang salon ada ruang utama berukuran sekitar 6 x 2,5 meter yang difungsikan sebagai tempat kegiatan para santri. Di sudut barat terpasang gambar Ka’bah yang dibingkai rapi. Di sebelah selatan ada dua kaligrafi yang bertuliskan Allah dan Muhammad.

Selain itu, di sisi belakang ruang utama itu dipasang whiteboard yang masih terlihat coretan tulisan arab sisa materi pengajian yang dilakukan pekan lalu. Di ruang inilah semua kegiatan para santri berlangsung. Mulai buka bersama, salat berjamaah, tadarus, pengajian hingga belajar mengaji.

Adalah Maryani, 50 tahun, yang mendirikan pesantren ini. Sebagai seorang waria, ia ingin mengajak teman senasibnya lebih mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa.

Sebelum mendirikan pesantren, Maryani mendalami ilmu agama dengan mengikuti jamaah pengajian yang diasuh Kiai Hamroeli Harus di daerah Sumber, Kemusuk, Godean, Sleman. Dari tiga ribuan jamaah pengajian Hamroeli, Maryani adalah satu-satunya waria.

"Meskipun saya waria, namun Pak Kyai Hamroeli tetap mau membimbing saya dalam mengaji. Ketika saya ikut romongan ziarah ke makam Walisongo, saya juga ikut dan waria sendiri. Para jamaah pengajian juga tidak masalah," kata Maryani.


sumber :yahoo indonesia


0 komentar:

Posting Komentar

visit globe