Sabtu, 28 Agustus 2010

"Indonesia Anggap Elit Malaysia Arogan"


Agar rakyat Indonesia mengerti, di Malaysia masih ada yang mencintai saudara serumpun.

KETEGANGAN Indonesia dan Malaysia makin menjadi. Di Jakarta, demonstrasi menentang Malaysia masih merebak. Benteng Demokrasi Rakyat atau Bendera, misalnya, masih menggelar demonstrasi, di markasnya Jalan Diponegoro, Jakarta, Jumat 27 Agustus 2010.

Meski hanya puluhan orang, Bendera berkoar minta pemutusan hubungan diplomatik dengan Malaysia. Beberapa hari sebelumnya, kelompok itu beraksi di depan Kedutaan Besar Malaysia. Mereka membakar bendera Malaysia, dan melempari bendera ‘Jalur Gemilang’ dengan kotoran. Bahkan mengancam sweeping warga Malaysia.

Tentu saja ada warga Malaysia yang berang. “Berapa lama lagi kami harus mentolerir ini?,” kata seseorang yang mengatasnamakan diri sebagai ‘Frustated Malaysian’ seperti dimuat situs berita Malaysia The Star.

Disulut oleh insiden saling tangkap warga antar dua negara di perairan Bintan, Jumat 13 Agustus 2010, ketegangan merambat ke Jakarta dan Kuala Lumpur. Menteri Luar Negeri Malaysia, Anifah Aman mendesak RI bertindak tegas pada masa Bendera. Malaysia akan mengeluarkan anjuran berpergian (travel advisory) ke Indonesia.

“Bendera ingin menggunduli warga kami dan mengirim mereka pulang? Ini adalah penghinaan bukan hanya bagi Malaysia tapi juga Indonesia karena banyak masyarakat yang tidak menyetujui tindakan ini,” tegas Anifah.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun ambil tindakan. Dia memberi instruksi khusus kepada Menko Polkam Djoko Suyanto untuk menangani ketegangan ini. Dua negara juga akan duduk satu meja membahas ribut-ribut itu pada 6 September 2010 nanti melalui ajang Joint Ministry Conference.

Apa sebenarnya yang terjadi antara Indonesia dan Malaysia?

Mantan Deputi Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim menilai, ketegangan terjadi saat ini sudah akut. Ini adalah akumulasi dari permasalahan yang berlarut. “Sudah sampai pada tingkat massa, ini sudah tidak sehat,” kata Anwar ketika diwawancarai VIVAnews, Jumat 27 Agustus 2010.

Menurut dia, betapapun ketegangan itu ada, kepentingan dua bangsa tak boleh dikorbankan. Lalu, mengapa kedua negeri serumpun ini akan merugi jika konflik berlarut? Berikut petikan wawancara Anwar Ibrahim dengan VIVAnews:

Hubungan Indonesia-Malaysia makin panas. Sebenarnya apa yang sedang terjadi?

Saya berpendapat, bahwa tension [ketegangan] sudah berlarut-larut, dari soal budaya hingga soal TKI. Dan kini soal sempadan [batas wilayah], juga marine [kelautan].

Saya mendesak pimpinan dua negara berunding menangani masalah itu, karena ini sudah sampai pada tingkat massa, ini sudah tidak sehat. Karena betapapun ketegangan itu ada, kepentingan negara yang sangat strategis tak boleh dikorbankan.

Sikap Anda soal pelemparan kotoran ke kantor Kedutaan Besar Malaysia?

Kedua rakyat [baik Malaysia dan Indonesia] tidak mendukung pendirian arogan itu. Pelemparan najis itu tidak wajar. Sekedar mengemukakan pandangan, memprotes, itu ya biasa dalam negara demokrasi.

Walaupun di sini [di Malaysia] kurang mengerti, sebab di sini dilarang semua protes-protes. Mereka Yang disenangi pemerintah bisa, yang tidak, lain, dilarang semua, berbeda.

Sudah diketahui saya punya pandangan yang relatif intim dengan Indonesia. Di sini disinggung seolah saya senang dengan sikap itu [Bendera], tapi tidak benar. Bagi saya soal hubungan dua negara harus mengatasi kepentingan politik fraksi.

Yang malang, pimpinan negara agak slow menangani, dibiarkan gitu makanya parah. Ini persoalan yang harus ditangani dengan rujuk fakta. Kepala negara, wakil, atau pimpinan penting utama harus segera menangani.

Soal sempadan, TKI, ini soal lama, saya ingat terus. Dalam hubungan dulu dengan Pak Habibie [Presiden RI, BJ Habibie] saya direct call dengan Pak Habibie, harus begitu.

Apa persepsi warga Malaysia terhadap konflik ini?

Belum merebak. Cuma ada satu pihak, media main sentimen soal isu najis sebagai isu besar meski hanya melibatkan sejumlah kecil orang di Indonesia.

Saya juga melihat di koran, dari liputan televisi, banyak yang tidak senang dengan itu. Saya sebagai sahabat sejati Indonesia, saya pun berfikir demikian. Sebab, kalau konflik ini diteruskan, hanya menguntungkan buat yang arogan.

Siapa pihak arogan yang dimaksud?

Kalangan yang tidak senang atau yang mengambil suatu penilaian tidak baik, atau tidak senang dengan hubungan baik dua negara.

Konflik sudah lama terjadi, bukan kali ini saja. Apa sebenarnya persoalan dasar antara Indonesia-Malaysia?

Saya tekankan, ini isu panjang, horizontal. Terutama isu soal TKI, itu sentral. Bahwa TKI harus diperlakukan baik, ada political will. Persepsi orang Indonesia saya tahu benar, bahwa pimpinan atau elit Malaysia selalu arogan. Ini terkungkung kenyataan, [kondisi] di sini tidak juga membantu.

Akhirnya timbul reaksi yang memicu ketegangan. Panjang ceritanya, tapi pokoknya, pimpinan harus segera bertindak. Bukan berperang tapi untuk runding.

Untuk media massa, Indonesia yang menganut demokrasi, aturan media bebas. Di sini liputan media dikontrol pemerintah, lain. Perbedaan boleh [bisa], tapi kali ini yang bisa kita selesaikan, kita selesaikan.

Apa yang harus dilakukan rakyat untuk menyikapi isu sensitif ini?

Pandangan saya tidak sama dengan pemerintah, pandangan saya berbeda dan kritis. Pesan saya kepada rakyat Indonesia, tunduklah pada hukum. Kalau ada pelanggaran, harus konsisten, negara harus menyelesaikannya.

Supaya rakyat Indonesia mengerti, ada kalangan [di Malaysia] yang mencintai saudara serumpun. Mereka bisa protes, itu hak demokrasi, tapi kawal tata susila.

Ini pernyataan orang yang simpati dengan Indonesia. Kalau Anda lihat di sini, tiap kali disinggung, baik di parlemen di luar parlemen–Anwar ini tidak nasionalis, dikatakan pro sana pro sini, saya tidak peduli, karena pendirian saya [soal Indonesia] konsisten.

Di kalangan UMNO, dikatakan saya senang [jika ada konflik], provokator. Buat saya ya itu politik murahan.

Sikap Anda yang simpati pada Indonesia dipermasalahkan?

Ya, secara terbuka oleh banyak menteri, parlemen, juga masyarakat luas. Saya mewakili pandangan yang mau Indonesia dan Malaysia lebih akrab. Kita dulu amat membutuhkan Indonesia. Saya masih ingat perundingan dengan Pak Harto, "Pak tolong pak soal ini, kita merayu ke negeri jiran, banyak kawan berikan".

Penghinaan terhadap bendera Malaysia justru akan digunakan [oleh pihak lain], yang rugi kan rakyat, seperti kami yang menghendaki demokrasi.

Mereka akan bilang,”itu kamu mau demokrasi, demokrasi itu bakar bendera.” Padahal itu tidak benar. Itu digunakan tangan tertentu untuk ‘memukul’ kami.

Beredar spekulasi ada kepentingan politik menggunakan isu ini sebagai alat. Misalnya kekuatan politik di Indonesia, atau di Malaysia yang popularitasnya sedang turun. Benarkah?

Ada juga tafsiran itu, ada kesan soal internal --mereka sengaja mengabdikan ini seolah ada serangan, gugat. Saya lihat mainan spirit, survival Melayu yang keterlaluan, rasis.

Isu ini dieksploitasi, termasuk isu konflik dengan Indonesia. Tapi saya tidak mendapat keterangan atau informasi soal yang jelas soal itu.

Yang mampu saya katakan, bahwa media UMNO sengaja mengaktifkan isu ini. Namun apapun, yang terpenting, kepentingan dua negara jauh lebih penting. Ini yang saya tekankan.

sumber : VIVAnews

0 komentar:

Posting Komentar

visit globe